ProaksiNews, Cikarang – Aksi Masyarakat Penegak Supremasi Hukum (AMPUH) menilai proyek pembangun Sarana Olahraga (SOR) Bulutangkis di RT 005 dan 006, Perum Bumi Sakinah 4, Kelurahan Muktiwari, Kecamatan Cibitung, Kabupaten Bekasi terindikasi melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
Bahkan, akibat adanya indikasi PMH dalam pelaksanaan proyek SOR tersebut, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi berpotensi mengalami kerugian keuangan.
Demikian diungkapkan Dewan Pembina Aksi Masyarakat Penegak Supremasi Hukum (AMPUH), Jhony Sudarso SH MH kepada ProaksiNews, Jumat (27/01/2023). Menurutnya, selain diduga terjadi PMH, pelaksanaan proyek SOR tersebut cacat adminitrasi.
“Ini ada indikasi perbuatan melawan hukum yang berdampak pada kerugian keuangan negara. Dan pembangunan SOR tersebut diduga ada cacat hukum, bila ditilik dari nilai hukum dalam pelaksanaan pengerjaannya,” ujar Jhony.
Dikatakan Jhony Sudarso, dugaan PMH dan cacat hukum itu terjadi apabila kita menilai dari adanya pembayaran hasil pekerjaan proyek SOR Muktiwari oleh pihak pengguna anggaran. Sebab, anggaran proyek sudah dibayar, padahal pekerjaannya belum selesai dikerjakan secara keseluruhan.
Menurut Jhony, dengan terdapatnya temuan dalam pengerjaan SOR tersebut, yakni pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai RAB, maka terjadi berkurangnya kekayaan negara. Hal itu sesuai pengertian dalam UU No 1 Tahun 2004 Pasal 1angka 22, yakni kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja
maupun lalai.
“Dengan adanya pembayaran proyek SOR meskipun pekerjaan belum selesai, maka telah terjadi kerugian negara. Hal itu berdasarkan UU No 1 tahun 2004 pasal 1 angka 22,” kata Jhony.
Selain itu, ungkap Jhony, ada dugaan proyek yang dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Perubahan (APBDP) tahun 2022 tersebut, dalam pelaksanaannya ditemukan standar operation prosedur yang mungkin dipaksakan atau adanya kepentingan dalam penganggaran.
Sebab, seharusnya pengguna anggaran ataupun PPK sebelum pencairan anggaran proyek tersebut, kata Jhony, terlebih dahulu melakukan survey dan menelaah dokumen kontrak, karena di dokumen tersebut ada hasil pekerjaannya. Setelah dianggap dikerjakan sesuai kontrak, baru dilakukan penandatanganan.
“Dengan adanya penandatanganan dokumen kontrak oleh pengguna anggaran dan PPK, itu terkesan ada kemungkinan pemaksaan SOP atau adanya kepentingan dalam penganggaran. Sebab seharusnya ditelaah dulu dokumen kontraknya,” imbuh Jhony.
Pada dokumen kontrak tersebut dilapmpirkan pregres pekerjaan, poto pekerjaan dan lainnya. Namun mengapa ada terjadi pencairan meskipun pekerjaan belum selesai.
“Mungkin saja ada perlakuan istimewa terhadap kontraktor atau dalam hal ini dinas tersebut mengabaikan SOP,” ucapnya dengan nada tanya.
Lebih jauh Jhony mengungkapkan, kasus kerugian negara umumnya terjadi karena pejabat yang bertanggungjawab lalai, tidak cermat, belum optimal dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab, adanya indikasi kecurangan serta tidak menaati dan memahami ketentuan yang berlaku, dan lemah dalam melakukan pengawasan dan pengendalian
potensi kerugian negara.
“Jika ditemukan potensi kerugian negara adalah suatu perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dapat mengakibatkan risiko terjadinya kerugian di masa yang akan datang, berupa berkurangnya kekayaan negara berupa uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya,” bebernya.
Ia juga mengatakan, penyebab potensi kerugian negara diantaranya, terjadi karena pejabat yang bertanggung jawab lalai, tidak cermat, belum optimal dalam melakukan pengamanan atas pengelolaan aset negara serta tidak menaati dan memahami ketentuan yang berlaku, dan lemah dalam melakukan pengawasan dan pengendalian.
“Nah, dari uraian diatas tersebut menjelaskan bukan saja kesalahan terletak pada pihak kontraktor, melainkan juga pengguna anggaran. Jadi dalam hal ini dinas terkait mesti juga bertanggungjawab,” tegas Jhony.
Menurut Jhony, kenapa dirinya mengatakan bahwa pihak dinas mesti juga bertanggung jawab, karena dalam hal ini pihak dinas yang mempunyai kebijakan sebelum adanya pencairan atau pembayaran untuk pihak kontraktor.
Sehingga, ungkap Jhony, apabila ditilik bahwa mereka tidak menaati ketentuan dalam perjanjian/kontrak yang telah disepakati, dan kuasa pengguna anggaran serta Pejabat Pembuat Komitmen tidak melakukan pengawasan dan pengendalian atas pekerjaan pengadaan, hal itu merupakan unsur kesengajaan.
“Jadi dalam hal ini saya duga dalam pembangunan SOR ini ada indikasi permainan antara pihak kontraktor dengan dinas terkait,” teganya. H. Oji.
Komentar