ProaksiNews, Cikarang – Aktifis Lingkungan Kabupaten Bekasi menuding ada indikasi kongkalikong yang dilakukan oknum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam memberikan sanksi terhadap PT Fajar Paper.
Pasalnya, sanksi pembersihan (clean up) yang diberikan pihak Kementerian LHK terhadap pembuangan sampah plastik kemasan dari sisa produksi sampah impor yang dilakukan PT Fajar Paper, dan pembuangan limbah B3 dinilai sangat tidak masuk akal serta mengundang tanda tanya.
Demikian diungkapkan aktifitis lingkungan dari Gerakan untuk Lingkungan (Gunting), Kamis (22/4/2021). Ketua Umum Gunting, Adrie Charviandi mengungkapkan, ada dugaan transaksional dalam pemberian sanksi clean up yang diberikan Kementerian LHK.
“Kita duga ada transaksional dalam pemberian sanksi clea up kepada PT Fajar Paper. Sebab, pembuangan sampah plastik kemasan sisa produksi impor dan limbah B3 itu sangat merugikan masyarakat dan lingkungan,” ujar Adrie.
Dikatakan Adrie, dugaan transaksional tersebut sangat beralasan, karena sanksi hukum clean up yang diberikan kepada PT Fajar Paper ditukar dengan SPK pengelolaan limbah. SPK itu antara oknum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dengan Fajar Paper atau PT Fajar Surya Wisesa.
Sehingga tidaklan mengherankan, meskipun dumping (pembuangan) sampah sisa produksi yang berasal dari sampah impor limbah B3 tersebut dilakukan di Kampung Kalijeruk dan RT 001 RW 04, Kampung Pengkolan, Kab Bekasi yang merupakan tanah milik PT Fajar Paper itu dilakukan bertahu-tahun. Namun sangsinya tetap clean up.
“Ada dugaan sanksi hukum PT Fajar Paper ditukar dengan SPK, jadi meskipun penimbunan sampah dilakukan selama bertahun-tahun, namun sanksinya clean up,” imbuhnya.
Padahal, ungkap Adrie, akibat penimbunan sampah sisa impor dan B3 itu, tanah dan udara di sekitar lokasi penimbunan itu menjadi tercemar lingkungannya.
Bahkan, pembuangan itu sangat merugikan kesehatan masyarakat yang bermukim di sekitar lokasi. Dan, izin penimbunan sampah di lokasi tersebut juga disinyalir tidak ada.
“Akibat pembuangan sampah sisa impor dan B3 itu, tanah dan udara jadi tercemar, dan masyarakat dirugikan. Ironisnya, izin penimbunan di lokasi tersebut juga disinyalir tidak ada,” beber Adrie.
Diungkapkan Adrie, pada tahun 2017 Kementerian LHK memberikan sanksi kepada Fajar Paper untuk melakukan clean up (pembersihan) dan pemulihan lokasi pembuangan sampah tersebut.
Namun dalam pelaksanaan penegakan sanksi tersebut, diduga tidak ada transparansi dari pihak Kementerian Lingkungan Hidup Rl.
Indikasi adanya transaksional sangat beralasan, sebab pada bulan Oktober 2020, oknum Kementerian LHK melakukan kunjungan ke PT Fajar Paper bersama dengan wanita yang diketahui sebagai pemilik SPK limbah di Fajar Paper hari ini.
“Disinyalir, terjadi kongkalikong antara Kementerian LHK dengan PT Fajar Surya Wisesa dengan membarter sanksi clean up dan pemulihan dengan SPK pengelolaan limbah yang diberikan ke tangan Bu Wilda Yanti dengan kedok bank sampah di bawah bendera perusahaan PT Xaviera Global Synergy dan PT Indonesia Waste Management Solution,” terang Adrie.
Pemilik perusahaan itu, kata Adrie, membawa nama Kementerian LHK, dan menyatakan bahwa dirinyalah yang direferensi oleh Kementerian LHK sebagai pihak yang mampu melaksanakan pengolahan sampah di perusahaan itu.
“Ironisnya, Perusahaan milik Ibu Wilda Yanti belum memiliki izin pengelolaan sampah dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi,” tegasnya.
“Jadi terkesan oknum Kementerian LHK memanfaatkan penerapan sanksi clean up yang dikenakan kepada PT Fajar Paper. Hal itu untuk keperluan memberikan pencitraan kepada masyarakat, imbuhnya.
Apalagi dengan menyalurkan bantuan pandemi Covid-19 kepada masyarakat dengan mencantumkan logo Kementerian LHK dan PT Fajar Paper di setiap spanduk kegiatan yang dilaksanakan, termasuk pada kemasan bantuan yang diberikan. Cha.
Komentar